Minggu, 15 Januari 2012
'Don't be Afraid of the Dark': Horor Fantasi Khas del Toro
Kangen dengan film semacam 'Pan’s Labyrinth'? Tontonlah 'Don’t be Afraid of the Dark'. Di sini, sang sutradara visioner Guillermo del Toro menjadi produser, dan bersama Matthew Robbins menulis skenario dengan mendaur ulang film TV 1973 yang ditulis Nigel McKeand—yang ditonton del Toro kala berusia 9 tahun. Kursi sutradara diduduki oleh seorang debutan, Troy Nixey.
Del Toro dikenal dengan kemampuannya menciptakan dunia reka-percaya yang fantastis, lengkap dengan berbagai makhluk ajaib dari dunia lain, dengan “mood”, “look”, dan “feel” yang khas. 'Hell Boy' misalnya, dibuat kental dengan tanda tangannya yang khas, dengan karakter, lansekap, dan cerita ber-genre fantastis. Pun dengan 'Pan’s Labyrinth'.
Dan, nuansa del Toro pun mau tak mau hadir di film ini. Seperti 'Pan's', film ini dipenuhi dengan atmosfer fantasi, mulai dari rumah tua yang angker, berbagai perabotan yang menyeramkan, makhluk-makhluk fantasi, dan tentu saja cerita. Juga tokoh anak gadis cilik yang tidak dipercaya orangtuanya bahwa ia melihat peri.
Tentu saja kita jangan membandingkan film ini dengan film horor Asia atau horor pada umumnya yang lebih bertumpu pada kecepatan ritme plot, berdarah-darah, atau yang beraliran visual horror—ketika hantunya secara fisik adalah horor yang mengerikan.
Film ini lebih pada narrative horror: bayangkan, ada seorang putri 10 tahun terancam akan diculik makhluk-makhluk purba—yang akan berbuat apapun untuk mewujudkan keinginannya-- di sebuah rumah besar yang kuno, sementara ayahnya tak mempercayainya sedikit pun dan sibuk dengan urusannya sendiri.
Film ini mengerikan justru karena kita tak melihat hantunya. Dengan durasi 99 menit, film ini bukan semacam “perburuan” yang “pace” tinggi dan penyuntingan yang cepat. Melainkan, lebih pada “memancing” yang membutuhkan kesabaran, dan memberikan kepuasan pada waktunya. Mirip dengan 'Pan’s' atau 'The Devil’s Backbone' –dua film del Toro—atau 'Let the Right One In', pelan tapi menohok. Gaya dan sensasinyanya beda, tapi efek mendirikan bulu kuduknya tak kalah.
Tidak hanya itu, dari segi visual horror—dan fantasi visual lainnya—film ini juga tak kalah. Bahkan, pemandangan di tepi danau dan pinggiran kota New York pun dibuat dengan indahnya seperti di dunia dongeng, berkat besutan sinematografer Oliver Stapleton. Inilah atmosfer dunia horor-fantasi khas del Toro.
Film berkisah tentang Sally (dimainkan dengan sangat bagus oleh aktris cilik Bailee Madison), yang merasa dibuang oleh ibunya di Los Angeles untuk tinggal bersama ayahnya (Guy Pearce) dan pacar sang ayah, Kim (Katie Holmes) yang seorang desainer interior. Sang ayah sedang sibuk untuk merenovasi kastil antik seorang pelukis naturalis Emerson Blackwood (Garry McDonald).
Di awal, kita sudah disuguhi adegan dan keterangan betapa Blackwood ketakutan terancam makhluk kuno yang bersemayam di ruangan bawah tanah yang gelap dan dingin, hingga harus mengorbankan pengurus rumah, Miss Winter (Edwina Ritchard) demi mendapatkan anaknya yang ditawan para makhluk itu. Seperti formula “rumah berhantu”, Sally yang sebal dan merasa diabaikan ayahnya mencari kesibukan, dan tak lama hingga ia menemukan makhluk-makhluk yang—seperti yang diinfokan di 5 menit pertama film ini—akan menculiknya.
Sang mandor bangunan Harris (Jack Thomson) mengetahui hal itu dan berusaha menyelamatkannya. Sedangkan sang ayah menganggap anaknya meracau dan mencari perhatian. Hanya Kim yang peduli, tapi ia berjarak dengan Sally. Kengerian lebih mencekam ketika Sally menggambar penglihatannya. Kemudian, Kim menghadiahinya kamera (jadi ingat 'Shutter'!) untuk mengusir para makhluk yang takut cahaya itu.
Medium lukisan dan kamera foto adalah hal menarik untuk dikaji, mengingat keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda dalam menangkap fenomena.
'Jangan Takut Gelap'? Pikir lagi dua kali. Selamat datang di dunia fantastis del Toro yang mencekam!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar